Sabtu, 01 Januari 2011

ASKEP KLIEN LANJUT USIA DIKELUARGA DENGAN INKONTINENSIA


INKONTINENSIA URINE

Pendahuluan
Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.seperti halnya dengan keluhan pada suatu penyakit, bukan merupakan diagnosis, sehingga perlu dicari penyebabnya.
Batasan inkontinensia adalah pengeluaran urin ( atau feses ) tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial.
Variasi dari inkontinensia urin meliputi dari kadang – kadang keluar hanya beberapa tetes urin saja , sampai benar – benar banyak, bahkan disertai juga inkontinensia alvi. Inkontinensia dapat merupakan factor tunggal yang menyebabkan seorang lansia dirawat, karena sudah tidak teratasi oleh penderita sendiri maupau keluarga / orang yang merawatnya.
Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat yang wajar dari proses lansia, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini.
Inkontinensia urin mempunyai dampak medik, psikososial dan ekonomi. Dampak medik dari inkontinensia urin antara lain dikaitkan dengan ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih, urosepsis, gagal ginjal dan mortalitas yang meningkat. Sedangkan dampak psikososial dari inkontinensia urin adalah kehilangan percaya diri, depresi, menurunnya aktifitas seksual dan pembatasan aktifitas social.pada kasus yang lebih berat terjadi ketergantungan pada yang merawat. Di Amerika Serikat biaya pengelolaan inkontinensia urin dan komplikasinya mencapai lebih dari $ 13 milyar per tahun. Sedangkan di Inggris biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan inkontinensia dan komplikasinya mencapai 424 juta pound – sterling per tahun.
Penelitian menunjukkan hanya 1 : 4 dari penderita yang melaporkan masalah inkontinensianya pada dokternya dan sering pengobatannya tidak optimal. Keadaan ini merupakan tantangan bagi dokter umum yang sering kali pertama kali menemukan kasus ini untuk diagnosi dan pengelolaannya ( Seim et al, 1996 ).

Definisi
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak.
Sehingga dapat dianggap merupakan masalah bagi seseorang

Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi dari penyakit seperti infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada abdominal.

Manifestasi klinik
Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena  telah mulai berkemih.
Desakan, frekuensi, dan nokturia
Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk, atau membungkuk.
Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urine buruk atau lambat dan merasa menunda atau mengejan
Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat
Higiene buruk atau tanda-tanda infeksi
Kandung kemih terletak di atas simfisis pubis

Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

Pengaturan Diuresis Noral
Inkontinensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia. Usia yang lanjut tidak menyebabkan inkontinensia ( Reuben dkk, 1996 ).
Walaupun begitu beberapa perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia, dan faktor – faktor yang sekarang timbul akibat seseorang menjadi lanjut usia dapat mendukung terjadinya inkontinensian ( Kare dkk ). Factor – factor yang berkaitan dengan bertambahnya usia ini antara lain :
  • Mobilitas fisik, lebih terbatas karena menurunnya panca indera, kemunduran sistim lokomosi.
  • Kondisi – kondisi medic yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistim saraf pusat dan sistim saraf tepi didaerah sacrum. Saat periode pengisian kandung kemih, tekanan didalamnya tetap rendah ( di bawah 15 mmH2O ).
Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih mencapai antara 150 – 350 ml. kapasitas kandung kemih normal bervariasi sekitar 300 – 600 ml. umumnya kanndung kemih dapat menampung urin sampai lebih kurang 500 ml tanpa terjadi kebocoran.
Bila proses berkemih terjadi, otot – otot detrusor dari kandung kemih berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra ( van der cammen dkk ). Secara sederhana dapat digambarkan, saat proses berkemih dimulai, tekanan dari otot – otot detrusor kandung kemih meningkat melebihi tahanan dan muara uretra dan urin akan memancar keluar ( Reuben dkk ).
Secara garis besar, proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih didaerah sacrum. Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom. Membawa informasi tentang isi kandung kemih ke medulla spinalis sesuai pengisian kandung kemih.
Tonus simpatik akan menyebabkan penutupan kandung kemih dan menghambat tonus parasimpatik. Pada saat proses berkemih berlangsung. Tonus simpatik menurun dan peningkatan rangsang parasimpatik mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Semua proses ini dibawah koordinasi dari pusat yang lebih tinggi dari batang otak, otak kecil dan korteks serebri. Sehingga proses patologik yang mengenai pusat – pusat ini misalnya stroke, sinndroma Parkinson. Demensia dapat menyebabkan inkontinensia. Semua ini adalah deskripsi yang disederhanakan dari proses berkemih yang sebenarnya sangat rumit sedangkan keadaan neuro-fisiologik yang sesungguhnya belum sepenuhnya diketahui ( Kane dkk ).
Proses berkemih adalah suatu mekanisme yang sangatkompleks. Untuk dapat mengelola penderita inkontinensia urin dengan lebih baik. Dibutuhkan pemahaman dari mekanisme detrusor dan mekanisme sfingter.
Mekanisme Detrusor
Otot detrusor kandung kemih merupakan otot – otot yang beranyaman dan bersifat kontraktil. Mekanisme detrusor mellibatkan otot detrusor, persyarafan pelvis, medulla spinalis dan pust – pusat otak yang mengatur proses berkemih. Bila kandung kemih makin terisi dengan urin. Sensasi syaraf diteruskan lewat persyarafan pelvis dan medulla spinalis ke pusat – pusat sub-kortikal dan korteks. Pusat sub-kortikal diganglia basalis pada serebellum memerintahkan kandung kemiih untuk relaksasi dengan demikian proses pengisian berlanjut tanpa orang mengalami sensasi untuk berkemih. Bila proses pengisian berlanjut, perasaan regangan kandung kemih mencapai pusat kesadaran.
Selanjutnya pusat dikorteks dilobus frontalis akan mengatur untuk menunda berkemih. Gangguan pada pusat – pusat dikorteks atau sub-kortikal ini akibat penyakit atau obat-obatan dapat menurunkan kemampuan untuk menunda berkemih.
Bila dikehendaki untuk berkemih, rangsang dari korteks diteruskan lewat medulla spinalis dan persyarafan pelvis ke otot-otot detrusor. Kerja kolinergik dari persyarafan pelvis mengakibatkan kontraksi dari otot-otot detrusor. gangguan pada aktifitas kolinergik dari persyarafan pelvis ini berakibat penurunan kontraktilitas otot-otot detrusor. Otot-otot ini juga mengatur reseptor untuk prostaglandin, sehingga obat-obat yang menghambat prostaglandin dapat mengganggu kerja detrusor. Kontraksi kandung kemih juga tergantung pada kerja ion kajsium, sehingga penghambat kalsium juga dapat mengganggu kontaksi kandung kemih.

Mekanisme Sfingter
Inervasi dari sfingter interna dan eksterna juga kompleks. Walaupun demikian, untuk memberikan obat yang tepat dibutuhkan pemahaman dari persyarafan adrenergik dari sfingter-sfingter ini serta hubungan anatomi daari uretra dan kandung kemih.
Aktifitas alfa adrenergik menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Karenanya obat-obat yang bersifat adrenergik agonis, misalnya pseudoefedrin, dapat memperkuat kontraksi sfingter. Sedangkan obat-obat penghambat alfa misalnya terazozin dapat mempengaruhi penutupan sfingter. Inervasi beta adrenergik menyebabkan relaksasi dari sfingter uretra dan mengakibatkan aktifitas kontraksi dari obat-obat alfa adrenergik tidak ada yang menghambat.
Komponen lain dari mekanisme sfingter adalah hubungan anatomi antara uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter yang terkendali membutuhkan sudut yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter yang normal juga tergantung dari posisi yang tepat dari uretra, sehingga peningkatan tekanan intra-abdominal dapat secara efektif diteruskaan ke uretra. Bila uretra dalam posisi yang tepat, urin tidak akan keluar dengan mengejan, batuk dan lain-lain gerakan yang meningkatkan tekanan dalam perut.
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih cenderung meningkat dan kontraksi otot-otot kandung kemihyang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksi-kontraksi involunter ini ditemukan pada 40-75% orang lanjut usia yang mengalami inkontinensia ( Reuben dkk ).
Pada wanita, menjadi lanjut usia juga berakibat menurunnya tahanan pada uretra dan muara kandung kemih. Ini berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya jaringan/otot-otot panggul karena proses melahirkan, apalagi bila disertai tindakan-tindakan berkenaan dengan persalinan tersebut.
Menurunnya pengaruh dari estrogen pada lanjut usia, juga dapat menyebabkan vaginitis atropi dan uretritis sehingga terjadi keluhan-keluhan disuri misalnya polakisuri dan dapat mencetuskan inkontinensia.
Pada pria, pembesaran kelenjar prostat pada saat lanjut usia mempunyai potensi untuk menyebabkan inkontinensia ( Kane dkk ).

Penyebab Dan Tipe Inkontinensia
Mengetahui penyebab inkontinensia sangat penting untuk pengelolaan yang tepat. Pertama-tama harus diusahakan membedakan apakah penyebab inkontinensia berasal dari : ( Whitehead, fonda ).
  1. Kelainan urologik ; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.
  2. Kelainan neurologic ; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain.
  3. Lain-lain ; misalnya hambatan mobilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh dan sebagainya.
Kemudian harus diteliti lagi, apakah : ( Kane dkk ; Reuben dkk )
  • Inkontinensia terjadi secara akut. Yang biasanya reversible. Inkontinensia yang terjadi secara akut ini, terjadi secara mmendadak, biasanya berkaitan dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan ( iatrogenik ). Inkontinensia akan membaik, bila penyakit akut yang diderita sembuh atau obat penyakit dihentikan.
  • Inkontinensia yang menetap/kronik/persisten, tidak berkaitan dengan penyakit-penyakit akut ataupun obat-obatan, dan inkontinensia ini berlangsung lama.

Inkontinensia Akut
Untuk memudahkan mengingat macam inkontinensia yang akut dan biasanya reversible, antara lain dapat memanfaatkan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari : ( Kane dkk )
D : Delirium
R : Retriksi mobilitas, retensi
I : Infeksi, inflamasi, impaksi, fests
P : Pharmasi ( obat-obatan ), polium
Penggunaan kata DIAPPERS juga dapat membantu mengingat sebagian besar dari penyebab inkontinensia ini.
Delirium : kesadaran yang menurun berpengaruh pada tanggapan rangsang berkemih, serta mengettahui tempat berkemih. Delirium merupakan penyebab utama dari inkontinensia bagi mereka yang dirawat dirumah sakit. Bila delirium membaik, inkontinensia pulih juga.
Infection : infeksi saluran kemih sering berakibat inkontinensia; tidak demikian dengan bakteri uri yang asimtomatik.
Atrophic vaginitis dan atrophic urethritis : pada umumnya atrophic vaginitis akan disertai atrophic urethritis dan keadaan ini menyebabkan inkontinensia pada wanita. Biasanya ada respons yang baik dengan sediaan estrogen oral setelah beberapa bulan pemakaian. Penggunaan topikal kurang nyaman.
Pharmaceuticals : obat-obatan merupakan salah satu penyebab utama dari inkontinensia yang sementara, misalnya diuretika, antikolinergik, psikotropik, analgesic opioid, alfa bloker pada wanita, alfa agonis pada pria, dan penghambat kalsium.
Psychologic factors : depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat menurunkan kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih.
Excess urine output : pengeluaran urine berlebihan dapat melampaui kemampuan orang usia lanjut mencapai kamar kecil. Selain obat-obat diuretika, penyebab lain yang sering misalnya pengobatan gagal jantung, gangguan metabolik seperti hiperglikemia ataupun terlalu banyk minum.
Restricted mobility : hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih. Bila mobilitas belum dapat ditingkatkan.penyediaan urinal atau komodo,dapat memperbaiki inkontinensia.
Stool impaction : impaksi feses juga merupakan penyebab yang sering dari inkontinensia pada mereka yang dirawat atau immobil. Bila obstipasi diatasi, akan memulihkan kontinens lagi.
Untuk berkemih dengan baik dibutuhkan antara lain tingkat kesadaran yang baik. Motivasi, mobilitas dan keterampilan sehingga masalah-masalah diluar kandung kemih sering berakibat inkontinensia geriatric. Penyebab-penyebab ini sering menyebabkan inkontinensia sementara (akut,transient), biarpun bila tidak dikenali dan diobati dapat menjadi inkontinensia berkelanjutan (persistent).

Inkontinensia Yang Menetap
Penyebab dari inkontinensia yang menetap (persisten) harus dicari, setelah penyebab dari inkontinensia yang sementara sudah diobati dan disingkirkan. Secara umum penyebab inkontinensia yang menetap adalah akibat :
  1. Aktifitas detrusor berlebihan (Over Active Bladder, inkontinensia tipe urgensi) : aktifitas otot detrusor yang berlebihan menyebabkan kontraksi yang tidak terkendali dari kandung kemih dan berakibat keluarnya urin. Keadaan ini mmerupakan penyebab utama dari inkontinensia urin pada lanjut usia mencapai 2/3 nya.
  2. Aktifitas detrusor yang menurun (inkontinensia tipe overflow luapan) : inkontinensia ini paling jarang dijumpai. Dapat idiopatik atau akibat gangguan persyarafan sacrum (neurogenic bladder).bila mengakibatkan inkontinensia, ditandai dengan sering berkemih, malam hari lebih sering, dengan jumlah urin sedikit-sedikit. Sisa urin residu setelah berkemih (biasanya sekitar 450 cc) membedakannya dari inkontinensia tipe urgensi dan tipe stress.
  3. Kegagalan urethra (inkontinensia tipe stress). Penyebab utama nomor dua setelah aktifitas detrusor yang berlebihan. Terutama pada wanita lanjut usia. Inkontinensia ini ditandai dengan kebocoran urin pada saat aktifitas. Urin dapat keluar saat tertawa, bersin, batuk atau mengangkat benda berat. keluarnya urin ini lebih mencolok pada siang hari. Kecuali terdapat bersama-sama inkontinensia urgensi yang sering ada bersamaan.
  4. Obstruksi urethra : pembesaran kelenjar prostat, striktura urethra, kanker prostat adalah penyebab yang biasa didapatkan dari inkontinensia pada pria lanjut usia. Dapat tampak urin menetes setelah berkemih.

Tipe Fungsional
Cara yang sederhana untuk mencari penyebab dari inkontinensia pada usia lanjut adalah dengan memperhatikan tiga hal yang berkemih secara normal,yaitu:
  1. Tahu dimana tempat berkemih
  2. Dapat mencapai tempat tersebut
  3. Dapat menahan untuk tidak berkemih sebelum sampai pada tempatnya
Inkontinensia urin tipe fungsional ditandai dengan keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun macam-macam hambatan situasi lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor-faktor psikologi seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe fungsional ini.

Obat Inkontinensia Urin
Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah akut sebagai pemicu timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dan berbagai upaya bersifat nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi masalah inkontinensia tersebut. Pemberian obat pada inkontinensia urin disesuaikan dengan tipe inkontinensia urinnya.
Obat-obatan untuk mengobati inkotinensia urin
Jenis obat
Mekanisme
Tipe inkontinensia
Efek samping
Nama obat dan dosis
Antikolirgenik dan antispasmodic
Meningkatkan kapasitas vesika urinaria, mengurangi involunter vesika urinaria
Urgensi atau stress dengan instabilitas detrusor atau hiperrefleksia
Mulut kering, penglihatan kabur, peningkatan TIO, konstipasi dan delirium
Oksibutinin : 2,5-5 mg tid
Tolterodine : 2 mg bid propanthelin : 15-30 mg tid dicyclomine : 10-20 mg imipramine : 10-50 mg tid
Alfa-adrenergik agonis
Meningkatkan kontraksi otot polos urethra
Tipe stress dengan kelemahan sphingter
Sakit kepala, takikardi, peningkatan tekanan darah
Pseudofedrin : 15-30 mg tid phenylpropanolamine : 75 mg bid imipramine : 10-50 mg tid
Estrogen agonis
Meningkatkan aliran darah periurethra
Tipe stress, tipe urgensi yang berhubungan dengan vaginitis atropi
Kanker endometrial, peningkattan tekanan darah, batu saluran kemih
Oral : 0,625 mg/hr topical : 0,5-1 gr per aplikasi
Kolinergik agonis
Menstimulasi kontraksi vesika urinaria
Tipe luapan atau overflow dengan vesika urinaria atonik
Bradikardi, hipotensi, bronkokontriksi, sekresi asam lambung
Bethanechol : 10-30 mg tid
Alfa-adrenergik antagonis
Merelaksasi otot polos urethra dan kapsul prostat
Tipe luapan dan urgensi yang berhubungan dengan pembesaran prostat
Hipotensi postura
Terasozine : 1-10 mg/hr
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin involunter(tidak disadari/mengompol) yang cukup menjadi masalah.Menurut Watson (1991), inkontinensia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat yang tidak tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau sosial.
Inkontinensia dapat menyebabkan terjadinya iritasi kulit, stress keluarga, teman dan orang yang merawat, serta membutuhkan biaya untuk kebutuhan tampon, kateter, tenaga perawat dan penanganan komplikasi.
Macam-macam inkontinensia:
  1. Inkontinensia stress
Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau aktifitas fisik disebabkan kelemahan otot-otot dasar panggul dan kandung kemih.gejala dapat dipastikan dengan mengobservasi pengeluaran urin selama aktivitas yang menyebabkan peningkatan tekanan abdominal.
  1. Inkontinensia urgensi (dorongan/mendesak)
Pengeluaran urin involunter dalam jumlah sedang atau banyak berkaitan dengan keiinginan kuat tiba-tiba untuk berkemih atau tidak dapat menunda pengeluaran sesudah adanya rasa penuh pada kandung kemih.
  1. Inkontinensia aliran berlebihan (overflow)
Pengeluaran urin involunter biasanya dalam jumlah sedikit berkaitan dengan distensi berlebih dari kandung kemih akibat retensi urin dan kelainan fungsi sfingter (obstruksi aliran urin karena tumor dan konstipasi fekal), sehingga kandung kemih gagal berkontraksi.
  1. Inkontinensia fungsional
Kebocoran urin yang berhubungan dengan ketidakmampuan klien untuk mencapai kamar kecil pada waktunya karena gangguan fungsi fisik atau kognitif maupun lingkungan.

Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat bermanfaat untuk lansia dengan gangguan pada system perkemihan. Langkah-langkah dalam memulai latihan otot dasar panggul adalah sebagai berikut :
Tujuan:
Untuk menguatkan otot rangka pada dasar panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih. Latihan otot dasar panggul ini diperkenalkan oleh kegel untuk terapi pasca melahirkan. Latihan ini terus dikembangkan dan dilakukan pada lansia yang mengalami masalah inkontinensia stress.
Persiapan:
  • Hanya dapat dilakukan pada klien yang fungsi kognitifnya masih baik.
  • Keberhasilan terletak pada keinginan dan kedisiplinan klien
  • Beri motivasi untuk melakukan latihan
Pelaksanaan:
- atur posisi senyaman mungkin
- jaga privasi klien
- lakukan kontraksi dan penghentian laju urine ketika berkemih
- lakukan setiap hari sebanyak 3-4 kali
- perhatikan respon klien terhadap kelelahan
latihan kandung kemih
Latihan kandung kemih ( bladder training ) merupakan hal penting yang harus dilatih oleh lansia. Langkah-langkah dalam melakukan latihan ini adalah sebagai berikut:
Tujuan:
  • Untuk melatih seseorang mengembalikan kontrol miksi (kemampuan berkemih) dalam rentang waktu 2-4 jam
  • Agar klien dapat meenahan kencing dalam waktu yang lama
  • Mempertahankan klien tetap dalam kondisi kering
  • Mencegah inkontinensia urgensi
  • Memberikan rasa nyaman
Pelaksanaan:
  • Jelaskan tujuan pelaksanaan latihan kandung kemih
  • Membuat daftar catatan untuk jumlah pemasukan cairan
  • Membuat jadwal teratur pengosongan kandung kemih (sesuai waktu kebiasaan klien miksi). Bila rata-rata berkemih lebih dari 60 menit, maka interval berkemih dijadwalkan setiap jam
  • Jadwal berlaku pada saat klien tidak tidur
  • Klien harus berkemih pada waktu yang telah ditetapkan, baik ada keinginan atau tidak
  • Klien harus berusaha menahan keinginan berkemih diantara rentang waktu yang dijadwalkan dengan menggunakan teknik relaksasi dan distraksi
  • Ajarkan klien untuk memahami tanda-tanda/rangsangan untuk berkemih seperti kedinginan, berkeringat, resah, kedutan otot, dan lain-lain agar menjadi peka untuk mengosongakan kandung kemih
  • Lakukan pencatatan dan evaluasi secara teratur. Latihan ini dihentikan apabila tidak ada kemajuan selama tiga minggu
  • Atur posisi senyaman mungkin untuk berkemih dan jaga privasi klien
  • Beri motivasi dan reinforcement dalam melakukan latihan ini
  • Bila jadwal dipenuhi, keberhasilan lebih dari 75%, dan angka kejadian berkemih diluar kontrol menurun, maka rentang berkemih ditambahkan 30 menit. Bbila inkontinensia masih terjadi (keberhasilan kurang dari 75%), maka rentang berkemih diturunkan,

ASKEP INKONTINENSIA URINE

Pengkajian
Keluhan utama
Anamnesa
Riwayat Penyakit
Harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.
Lama dan karakteristik inkontinensia urin
Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen). Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya. Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri. Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan. Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih. Penggunaan pad atau Modalitas lainnya.
Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya

Riwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan. Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik, adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.

Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia. Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.

Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin
Tes diagnostik pada inkontinensia urin. Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis. Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah


Diagnosa
Iritasi kulit genital b/d frekuensi berkemih yang berlebih
Penurunan isyarat kandung kemih b/d disfungsi neuromuskular
Resiko kekurangan cairan b/d out put berlebihan
Resiko cedera fisik b/d fungsi tubuh, lantai yang licin

Rencana Intervensi

Diagnosa 1 : Iritasi kulit b/d frekuensi berkemih yang berlebih.
Tujuan : tidak terjadi iritasi kulit
Kh : lipatan paha tidak lembab, tidak ada iritasi kulit
Rencana intervensi :
Identifikasi klien yang memungkinkan mengalami ulkus
Anjurkan Cuci area setelah BAK,
bilas dan keringkan area setelah BAK
Anjurkan menggunakan pakaian dalam yang bersih dan menyerap air
Ajarkan pencegahan infeksi kandung kemih
Pastikan privasi dan kenyamanan klien terjaga

Diagnose 2 : Penurunan isyarat kandung kemih b/d disfungsi neuromuskular
Tujuan : klien mampu merasakan rangsangan untuk BAK
Kh : klien mengungkapkan keinginan untuk berkemih
Intervensi :
Latihan kekuatan dengan latihan kegel 
Ajarkan untuk mengurangi tekanan intra adbomen
Ajarkan untuk menghentiknan dan memulai aliran urin tiap kali berkemih
Berikan motivasi untuk meningkatkan control kandung kemih
Jika diperlukan lakukan tindakan pengosongan kandung kemih
Ajarkan klien tekhnik relaksasi

Diagnose 3 : Resiko kekurangan cairan b/d out put berlebihan
Tujuan : mempertahankanhidarasi normal
Kh : tidak terdapat tanda – tanda dehidrasi
Intrevensi :
Kaji pola berkemih klien
Kaji output dan input cairan klien
Berikan ciran dengan jarak 2 jam
Anjurkan klien untuk Perbanyak masukan cairan
Observasi tanda – tanda dehidrasi

Diagnosa 4 : Resiko cedera fisik b/d penurunan fungsi tubuh, lantai yang licin
Tujuan : terjadi peningkatan keamanan dan keselamatan
Kh : tidak terjadi kecelakaan fisik
Intervensi : 
Berikan lansia alat bantu untuk meningkatkan keselamatan
Bantu klien kekamar mandi
Jangan biarkan klien sendirian 
Pasang pegangan dikamar mandi
Hindarkan lampu yang redup dan menyilaukan 
  1. Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat bermanfaat untuk lansia dengan gangguan pada system perkemihan. Langkah-langkah dalam memulai latihan otot dasar panggul adalah sebagai berikut :
Tujuan:
Untuk menguatkan otot rangka pada dasar panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih. Latihan otot dasar panggul ini diperkenalkan oleh kegel untuk terapi pasca melahirkan. Latihan ini terus dikembangkan dan dilakukan pada lansia yang mengalami masalah inkontinensia stress.
Persiapan:
  • Hanya dapat dilakukan pada klien yang fungsi kognitifnya masih baik.
  • Keberhasilan terletak pada keinginan dan kedisiplinan klien
  • Beri motivasi untuk melakukan latihan
Pelaksanaan:
- atur posisi senyaman mungkin
- jaga privasi klien
- lakukan kontraksi dan penghentian laju urine ketika berkemih
- lakukan setiap hari sebanyak 3-4 kali
- perhatikan respon klien terhadap kelelahan
2. latihan kandung kemih
Latihan kandung kemih ( bladder training ) merupakan hal penting yang harus dilatih oleh lansia. Langkah-langkah dalam melakukan latihan ini adalah sebagai berikut:
Tujuan:
  • Untuk melatih seseorang mengembalikan kontrol miksi (kemampuan berkemih) dalam rentang waktu 2-4 jam
  • Agar klien dapat meenahan kencing dalam waktu yang lama
  • Mempertahankan klien tetap dalam kondisi kering
  • Mencegah inkontinensia urgensi
  • Memberikan rasa nyaman
Pelaksanaan:
  • Jelaskan tujuan pelaksanaan latihan kandung kemih
  • Membuat daftar catatan untuk jumlah pemasukan cairan
  • Membuat jadwal teratur pengosongan kandung kemih (sesuai waktu kebiasaan klien miksi). Bila rata-rata berkemih lebih dari 60 menit, maka interval berkemih dijadwalkan setiap jam
  • Jadwal berlaku pada saat klien tidak tidur
  • Klien harus berkemih pada waktu yang telah ditetapkan, baik ada keinginan atau tidak
  • Klien harus berusaha menahan keinginan berkemih diantara rentang waktu yang dijadwalkan dengan menggunakan teknik relaksasi dan distraksi
  • Ajarkan klien untuk memahami tanda-tanda/rangsangan untuk berkemih seperti kedinginan, berkeringat, resah, kedutan otot, dan lain-lain agar menjadi peka untuk mengosongakan kandung kemih
  • Lakukan pencatatan dan evaluasi secara teratur. Latihan ini dihentikan apabila tidak ada kemajuan selama tiga minggu
  • Atur posisi senyaman mungkin untuk berkemih dan jaga privasi klien
  • Beri motivasi dan reinforcement dalam melakukan latihan ini
  • Bila jadwal dipenuhi, keberhasilan lebih dari 75%, dan angka kejadian berkemih diluar kontrol menurun, maka rentang berkemih ditambahkan 30 menit. Bbila inkontinensia masih terjadi (keberhasilan kurang dari 75%), maka rentang berkemih diturunkan,

Inkontinensia Alvi
Pendahuluan
Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan tetapi tidak terelakkan. Berkaitan dengan usia lanjut. Sebenarnya, seperti dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi sering kali terjadi akibat sikap dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat. Karena dengan diagnosis dan pengobatan yang sesuai. Inkontinensia alvi pada lanjut usia hamper seluruhnya dapat dicegah.
Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan. Dibandingkan inkontinensia urin. Apalagi bila penderita tidak menderita inkontinensia urin. 30-50% penderita dengan inkontinensia urin, juga menderita inkintinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme patofisiologi yang sama antara inkontinensia urin dengan inkontinensia alvi.
DEFINISI
Inkontinensia alvi biasanya akibat daristatis fekal dan impaksi yang disretai penurunan aktivitas , diet yang tidak tepat , penyakit anal yang nyeri yang tidak diobati, atau konstipasi kronis. Inkontinensia fekal juga dapat disebabkan oleh penggunaan laksatif yang kronis, penurunan asupan cairan, defisit nuerologis, pembedahan pelvik, prostat, atau rektum serta obat-obatan seperti antihistamin, psikotropik, dan preparat besi.

Pengaturan Defekasi Normal
Defekasi, seperti halnya berkemih adalah suatu proses fisiologik yang melibatkan :
  • Koordinasi susunan syaraf pusat dan perifer serta system reflex.
  • Kesadaran dan kemamouan untuk mencapai tempat buang air besar.
Di daerah rectum dan anus sendiri, ada tiga hal yang penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang tugasnya mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Brocklehurst dkk, 1987)
  1. Sudut ano-rektal yang dipertahankan pada posisi yang paling ideal, dibawah 100 derajat oleh posisi otot-otot pubo-rektal.
  2. Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra-abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga dan sebagainya.
  3. Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot serta lipatan-lipatan, mukosa yang saling mendukung.
Tanda dan gejala
  • Pembesaran feses yang terus menerus dari rectum
  • Ketidakmampuan mengenali kebutuhan defekasi
  • Kram abdomen dan distensi
  • Kemungkinan impaksi fekal
Pemeriksaan diagnostik
  • Pemeriksaan rectum digital dapat menyingkirkan kemungkinan impaksi fekal
  • Kolonoskopi mungkin diperlukan untuk mendeteksi kelainan usus lainnya

Gambaran Klinis
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan :
  1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes.
  2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi. Ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis. Penyebab dari inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst dkk, 1987; Kane dkk, 1989):
  1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
  2. Inkontinensia alvi simptomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar.
  3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik)
  4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflex anal.
Jenis-jenis inkontinensia alvi
  1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu. Tetapi banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar (Kane dkk, 1989). Konstipasi sering sekali dijumpai pada lanjut usia dan merupakan penyebab yang paling utama pada inkontinensia alvi pada lanjut usia.
  1. Inkontinensia alvi simtomatik
Inkontinensia alvi simptomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam-macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare.keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987)
  1. Inkontinensia alvi neurogenik
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi reggangan atau distensi rectum. Proses normal dari defekasi melalui reflex gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai dilambung atau gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden kearah rectum. Distensi rectum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsic dari rectum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi atau hambatan dari pusat dikorteks serebri (Brocklehurst dkk, 1987).bila buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia dan terutama pada penderita dengan penyakit serebrovaskuler, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
  1. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
Inkontinensia alvi ini terjsdi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya (Brocklehurst dkk, 1987)


Privacy
Privacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawat seharusnya menyediakan waktu sebanyak mungkin seperti kepada klien yang perlu menyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami kelemahan, perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat kebersihan seperti tissue dan tetap berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien.
Waktu
Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi. Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat berdiskusi ketika terjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk defekasi. Aktivitas lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita waktu untuk defekasi.
Nutrisi dan Cairan
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien yang terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien dapat membantu defekasi normal.
Untuk Konstipasi
Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin seharusnya dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat dan tinggi rempah dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan klien sebagai berikut :
- Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
- Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa sayuran dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
- Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti pisang
- Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
- Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah, sereal
- Batasi makanan berlemak
- Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah iritasi
- Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
- Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan minum produk-produk susu fermentasi.
Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah gusi; untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang menghasilkan gas, seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi normal) mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik sebagai berikut :
- Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan mengejangkan, menahan selama 10 detik dan kemudian relax. Ulangi 5 – 10 kali sehari tergantung kekuatan klien.
Positioning
Meskipun posisi jongkong memberikan bantuan terbaik untuk defekasi. Posisi pada toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar orang. Untuk klien yang mengalami kesulitan untuk duduk dan bangun dari toilet, maka memerlukan alat bantu BAB seperti commode, bedpad yang jenis dan bentuknya disesuaikan dengan kondisi klien.
Obat-obatan
Obat-obatan yang termasuk kategori mempengaruhi eliminasi alvi adalah katarsis dan laxantive, antidiare dan antiflatulensi
Mengurangi flatulensi
Ada banyak cara untuk mengurangi / mengeluarkan flatus, meliputi menghindari makanan yang menghasilkan gas, latihan, bergerak di tempat tidur dan ambulasi. Gerakan merangsang peristaltik dan membantu melepaskan flatus dan reabsorbsi gas dalam kapiler intestinal. Satu metode untuk penanganan flatulensi adalah dengan memasukkan suatu rectal tube. Caranya adalah sebagai berikut :
1. Gunakan rectal tube ukuran 22 – 30 F untuk dewasa dan yanglebih kecil untuk anak
2. Tempatkan klien pada posisi miring
3. Berikan lubrikasi untuk mengurangi iritasi
4. Buka anus dan masukkan rectal tube dalam rektum (10 cm). Rectal tube akan merangsang peristaltik. Jika tidak ada flatus yang keluar, masukkan tube lebih dalam. Jangan menekan tube jika tidak bisa masuk dengan mudah.
5. Lepaskan tube jangan lebih dari 30 menit untuk menghindari iritasi. Jika terjadi distensi abdomen, masukkan tube setiap 2 – 3 jam.
6. Jika tube tidak dapat mengurangi flatus, konsul dengan dokter untuk pemakaian suppository, enema atau obat-obatan yang lain.
Pemberian Enema
Enema adalah larutan yang dimasukkan dalam rektum dan usus besar. Cara kerja enema adalah untuk mengembangkan usus dan kadang-kadang mengiritasi mukosa usus, meningkatkan peristaltik dan membantu mengeluarkan feses dan flatus.
Jenis enema :
1. Cleansing enema / huknah
Cleansing enema dimaksudkan untuk mengeluarkan feses. Tindakan ini utamanya diberikan untuk :
- Mencegah keluarnya feses saat operasi
- Persiapan pemeriksaan diagnostik tertentu pada usus
- Mengeluarkan feses dari usus saat konstipasi / obstipasi
Cleansing enema menggunakan bermacam-macam larutan sebagai berikut :
Larutan
Unsur
Tindakan
Waktu
Efek samping
Hipertonis
90 – 120 cc (misal Sodium phosphate)
Menarik air dari ruang interstisiil ke dalam kolon, merangsang peristaltik, menyebabkan defekasi
5 – 10’
Retensi Sodium
Hipotonis
500 – 1000 cc air kran
Distensi abdomen, me-rangsang peristaltik, melunakkan feses
15 – 20’
Ketidakseimbangan cairan dan elek-trolit, intoksikasi air
Isotonis
500 – 1000 cc normal saline (NaCl 0.9 %)
Distensi abdomen, me-rangsang peristaltik, melunakkan feses
15 - 20’
Kemungkinan retensi Na.
Air sabun
500 – 1000 cc (3 – 5 cc sabun dalam 1000 cc air)
mengiritasi mukosa, distensi kolon
10 – 15’
Iritasi dan merusak mukosa
Minyak
90 – 120 cc
Lubrikasi feses dan mukosa kolon
½ – 3 jam

Cleansing enema juga dapat digambarkan tinggi dan rendah. Tinggi jika pembersihan dimungkinkan mencapai kolon. Klien berubah posisi dari lateral kiri ke dorsal recumbent dan kemudian lateral kanan selama pemberian enema, dengan posisi kontainer 30 – 46 cm dari klien. Rendah jika pembersihan hanya pada rektum dan sigmoid. Posisi klien dipertahankan lateral kiri selama pemberian enema dengan posisi kontainer tidak lebih dari 30 cm dari klien.
2. Carminative enema
Diberikan utamanya untuk mengeluarkan flatus. Cairan dimasukkan ke dalam rektum mengeluarkan gas yang menambah distensi pada rektum dan kolon, kemudian merangsang peristaltik. Untuk dewasa diperlukan cairan 60 – 80 cc.
3. Retention enema / klisma
Adalah memasukkan minyak atau obat ke dalam rektum dan kolon sigmoid. Cairan dipertahankan dalam waktu yang relatif lama (misalnya 1 – 3 jam), untuk melunakkan feses dan lubrikasi rektum dan anus yang membantu keluarnya feses. Antibiotik enema digunakan untuk menangani infeksi lokal, antihelmentic enema untuk membunuh cacing parasit, nutritive enema untuk memberikan cairan dan nutrien pada rektum.
4. Return-flow enema
Kadang-kadang digunakan untuk mengeluarkan flatus. Sekitar 100 – 200 cc cairan dimasukkan ke dalam rektuum dan kolon sigmoid yang akan merangsang peristaltik. Tindakan ini diulangi 4 – 5 x sampai flatus keluar dan distensi abdomen berkurang.

Pengeluaran Obstipasi secara Digital
Pengeluaran secara digital meliputi penghancuran massa feses secara digital dan mengeluarkan bagian-bagiannya. Adanya kemungkinan terjadinya trauma pada mukosa saluran pencernaan, tindakan ini harus diperhatikan dengan matang. Stimulasi rektum juga merupakan kontraindikasi pada beberapa klien karena dapat menyebabkan respon vagal berlebihan yang berdampak aritmia jantung. Sebelum penghancuran feses dianjurkan diberikan klisma glyserin dan dipertahankan selama 30 menit. Setelah prosedur ini perawat dapat menggunakan berbagai macam intervensi untuk mengeluarkan feses yang tersisa, seperti dengan cleansing enema atau dengan suppositoria.
Pengeluaran secara manual obstipasi dapat menimbulkan rasa nyeri, perawat dapat menggunakan 1 – 2 cc lidokain (xylocain) gel pada sarung tangan yang dimasukkan ke anus.
Program Bowel Training
Pada klien yang mengalami konstipasi kronik, sering terjadi obstipasi / inkontinensia feses, program bowel training dapat membantu mengatasinya. Program ini didasarkan pada faktor dalam kontrol klien dan didesain untuk membantu klien mendapatkan kembali defekasi normal. Program ini berkaitan dengan asupan cairan dan makanan, latihan dan kebiasaan defekasi. Sebelum mengawali program ini, klien harus memahaminya dan terlibat langsung. Secara garis besar program ini adalah sebagai berikut :
o Tentukan kebiasaan defekasi klien dan faktor yang membantu dan menghambat defekasi normal.
o Desain suatu rencana dengan klien yang meliputi :
a. Asupan cairan sekitar 2500 – 3000 cc/hari
b. Peningkatan diit tinggi serat
c. Asupan air hangat, khususnya sebelum waktu defekasi
d. Peningkatan aktivitas / latihan
o Pertahankan hal-hal berikut secara rutin harian selama 2 – 3 minggu :
a. Berikan suppository katarsis (seperti dulcolax) 30 menit sebelum waktu defekasi klien untuk merangsang defekasi.
b. Saat klien merasa ingin defekasi, bantu klien untuk pergi ke toilet / duduk di Commode atau bedpan. Catat lamanya waktu antara pemberian suppository dan keinginan defekasi.
c. Berikan klien privacy selama defekasi dan batasi waktunya, biasanya cukup 30 – 40 menit.
d. Ajarkan klien cara-cara meningkatkan tekanan pada kolon, tetapi hindari mengecan berlebihan, karena dapat mengakibatkan hemorrhoid.
o Berikan umpan balik positif kepada klien yang telah berhasil defekasi. Hindari negatif feedback jika klien gagal. Banyak klien memerlukan waktu dari minggu sampai bulan untuk mencapai keberhasilan

Pengkajian
Pengkajian eliminasi alvi meliputi mengumpulkan riwayat keperawatan, melakukan pemeriksaan fisik pada abdomen, rektum dan anus serta inspeksi feses. Perawat seharusnya juga mengkaji ulang beberapa data yang didapat dari pemeriksaan diagnostik yang relevan.

Riwayat Keperawatan
Riwayat keperawatan eliminasi fekal membantu perawat menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola eliminasi. Sebagai contoh untuk mengumpulkan riwayat keperawatan, perhatikan Assesment review sebagai berikut :

Pola defekasi
Kapan anda biasanya ingin BAB ?
Apakah kebiasaan tersebut saat ini mengalami perubahan ?
Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
Apakah anda memperhatikan adanya perubahan warna, tekstur (keras, lemah, cair), permukaan, atau bau feses anda saat ini ?
Masalah eliminasi alvi
Masalah apa yang anda rasakan sekarang (sejak beberapa hari yang lalu) berkaitan dengan BAB (konstipasi, diare, kembung, merembes / inkontinensia{tidak tuntas}) ?
Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman, latihan, emosi, obat-obatan, penyakit, operasi) ?
Usaha apa yang anda lakukan untukmengatasinya dan bagaimana hasilnya ?
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan-bahan alami seperti makanan / minuman tertentu atau obat-obatan ?
Diet. Makanan apa yang anda percaya mempengaruhi BAB ? Makanan apa yang biasa anda makan ? yang biasa anda hindari, berapa kali anda makan dalam sehari ?
Cairan. Berapa banyak dan jenis minuman yang anda minum dalam sehari ? (misalnya 6 gelas air, 2 cangkir kopi)
Aktivitas dan Latihan. Pola aktivitas / latihan harian apa yang biasa dilakukan ?
Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi sistem pencernaan (misalnya Fe, antibiotik) ?
Stress. Apakah anda merasakan stress. Apakah dengan ini anda mengira berpengaruh pada pola BAB (defekasi) anda ? Bagaimana ?
Ada ostomi dan penanganannya
Apa yang biasa anda lakukan terhadap kolostomy anda ?
Jika ada masalah, apa yang anda lakukan ?
Apakah anda memerlukan bantuan perawat untuk menangani kolostomy anda ? Bagaimana caranya ?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi.
Inspeksi Feses
Observasi feses klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik
Normal
Abnormal
Kemungkinan penyebab
Warna
Dewasa : kecoklatan
Bayi : kekuningan
Pekat / putih
Adanya pigmen empedu (obstruksi empedu); pemeriksaan diagnostik menggunakan barium
Hitam / spt ter.
Obat (spt. Fe); PSPA (lambung, usus halus); diet tinggi buah merah dan sayur hijau tua (spt. Bayam)
Merah
PSPB (spt. Rektum), beberapa makanan spt bit.
Pucat
Malabsorbsi lemak; diet tinggi susu dan produk susu dan rendah daging.
Orange atau hijau
Infeksi usus
Konsistensi
Berbentuk, lunak, agak cair / lembek, basah.
Keras, kering
Dehidrasi, penurunan motilitas usus akibat kurangnya serat, kurang latihan, gangguan emosi dan laksantif abuse.
Diare
Peningkatan motilitas usus (mis. akibat iritasi kolon oleh bakteri).
Bentuk
Silinder (bentuk rektum) dgn  2,5 cm u/ orang dewasa
Mengecil, bentuk pensil atau seperti benang
Kondisi obstruksi rectum
Jumlah
Tergantung diet (100 – 400 gr/hari)


Bau
Aromatik : dipenga-ruhi oleh makanan yang dimakan dan flora bakteri.
Tajam, pedas
Infeksi, perdarahan
Unsur pokok
Sejumlah kecil bagian kasar makanan yg tdk dicerna, potongan bak-teri yang mati, sel epitel, lemak, protein, unsur-unsur kering cairan pencernaan (pigmen empedu dll)
Pus
Mukus
Parasit
Darah
Lemak dalam jumlah besar
Benda asing
Infeksi bakteri
Konsidi peradangan
Perdarahan gastrointestinal
Malabsorbsi
Salah makan

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-unsur yang tidak normal.

Diagnosa
Label diagnostik masalah eliminasi alvi menurut NANDA meliputi :
- Inkontinensia alvi
- Konstipasi
- Resiko terjadi konstipasi
- Konstipasi yang dirasakan
- Diare
(aplikasi klinis dari diagnosa ini lihat pada pedoman diagnosa NANDA yang meliputi tujuan dan intervensi)
Masalah eliminasi alvi dapat mempengaruhi banyak area fungsi manusia dan dapat menjadi etiologi diagnosa NANDA yang lain, seperti :
  • Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
b. Hilangnya cairan abnormal melalui ostomy
  • Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
a. Diare berkepanjangan
b. Inkontinensia alvi
  • Harga diri rendah berhubungan dengan
a. Ostomy
b. Inkontinensia usus
c. Perlunya bantuan untuk toileting
  • Defisit pengetahuan tentang bowel training, manajemen ostomy berhubungan dengan kurangnya pengalaman
  • Ansietas berhubungan dengan
a. Hilangnya kontrol eliminasi alvi akibat ostomy
b. Respon lain terhadap ostomy

Perencanaan
Tujuan utama klien dengan masalah eliminasi alvi adalah untuk :
- Mempertahankan atau mengembalikan pola eliminasi alvi normal
- Mempertahankan atau mendapatkan kembali konsisteni feses normal
- Mencegah resiko yang berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, trauma kulit, distensi abdomen dan nyeri.
Diagnosa keperawatan utama dan kreiteria hasil :
Inkontinensia fekal berhubungan dengan keruusakan neuromuskuler, diare, impaksi fekal atau kerusakan kognitif.
Pasien akan dapat mengendalikan defekasi setelah latihan kembali defekasi :
  • Ansietas berhubungan dengan inkontinensia fekal
kriteria hasil :
pasien akan mengungkapkan perasaannya mengenai kecemasan dan mengetahui mekanisme koping
  • Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inkontinensia fekal.
kriteria hasil :
pasien akan mempertahankan integritas kulit.

Intervensi Keperawatan

  • Jadwalkan waktu tambahan untuk mendaraong dan member dukangan pada pasien serta untuk mengurangi perasaan malu atau tidak berdaya akibat kehilangan pengendalian. Puji keberhasilan upaya pasien.
  • Mulai program toileting terjadwal dengan mengkaji pasien agar mengetahui kapan waktu defekasi rutinnya (contoh, setelah sarapan pagi atau setelah minum hangat lainnya ).ingatkan pasien dan bantu menggunakannya. Pastikan ia mengetahui letak toilet dan temani pasien untuk memastikan ia telah berdefekasi secara sempurna.
  • Pertahankan perawatan hygiene yang efektif untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah kerusakan kulit dan infeksi.
  • Dorong pasien untuk makan diet kaya serat dan sayur-sayuran berdaun kasar (seperti wortel dan selada), buah tidak dikupas (apel), dan gandum utuh (seperti gandum atau roti gandum dan sereal), kulit padi merupakn serat terbaik.
  • Anjurkan asupan cairan yang adekuat (8 sampai 10 gelas air perhari jika kondisi pasien memungkinkan)
  • Tingkatkan latihan yang teratur dengan menjalankan cara latihan untuk menggunakan defekkasi yang teratur bahkan pasien yang melakukan ambulasi dapat melakukan latiham sambil duduk atau berbaring ditempat tidur.
Penyuluhan pasien
  • Ajarkan pasien untuk secara bertahap menghilangkan penggunaan laksatif jika perlu. Tekankan bahwa penggunaan laksatif yang dijual bebas untuk meningkatkan defekasi teratur dapat menyebabkan efek berlawanan dan menyebabkan konstipasi atau inkontinensia sepanjang waktu.
  • Anjurkan penggunaan laksatif alami, seperti buah prem atau jus buah prem.


Implementasi
Peningkatan Keteraturan Defekasi
Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan
  1. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi
  2. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi
  3. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti sayuran, buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 – 3 liter/hari
  4. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien
  5. Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien yang terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien dapat membantu defekasi normal.

Evaluasi
- Apakah asupan cairan dan diet klien sudah tepat ?
- Apakah tingkat aktivitas klien sudah sesuai ?
- Apakah klien dan keluarga memahami instruksi ?


DAFTAR PUSTAKA
Jaime,L Stockslager.2007.Buku Asuhan Keperawatan Geriatik Edisi 2.Jakarta : EGC
R.Siti Maryam,S.Kp..Ns.dkk.2008.Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta       Salemba Medika
Stanley,Mickey.2006. Buku Ajar KeperawatanGerontik Edisi 2. Jakarta : EGC
Tamher, S.noorkasiani.2009. kesehatan Usia Lanjur Dengan Pendekatan Asuhan  Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Charlene J. Reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medica, 2001.
Watson, Roger. 2003.  Perawatan Pada Lansia. Jakarta. EGC
Darmojo, R. boedhi. 2004. Buku Ajar Geriatric, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut,Edisi 3. Jakarta : FKUI
Nugroho Wahyudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC




Tidak ada komentar:

Posting Komentar